Makalah
Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam
Dosen Pembimbing: Muhammad Ihwan, M.Hi.
Disusun Oleh:
Kelompok 9
Rizky Hidayat
Rofiq Al Muhlas
Fakultas Sains Dan Teknologi
Teknologi Informasi
Universitas Ibrahimy
2018-2019
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam sketsa pemikiran hukum bahwa
Qiyas merupakan suatu metode penetapan hukum menempati posisi keempat dalam
kerangka pemikiran hukum (Ushul fiqh).Para ulama dan praktisi hukum menilai
bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar
valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dilihat dari konteks sejarah ada kecenderungan bahwa metode Qiyas ini
berawal berawal dari logika filsafat Aristoteles yang berkembang di Yunani
kemudian ditransformasikan menjadi khazanah kebuyaan islam pada masa Al-makmun.
Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan
upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki
justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (‘illat).
Imam syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini
membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada Qiyas.Baginya
Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat
syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukum ashl, furu’, dan ‘illat.Keempat syarat
ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum, karena
untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi
dan analis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada
metode Qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik
dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan
beberapa kasus lain yang serupa.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan
atau mengukur, seperti menyamakan si A dan si B, kerena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan
sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh Qiyas berarti menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Di antara contoh Qiyas adalah setiap minuman yang
memabukkan hukumnya haram. Hal ini di Qiyaskan dengan hukum khamar (arak), yaitu haram. Persamaan kedua
jenis minuman ini adalah karena kesamaan sifatnya yang memabukkan. Contoh lain
adalah harta anak-anak wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini disamakan dengan
harta orang dewasa, yaitu bahwa kedua jenis harta tersebut dapat tumbuh dan
berkembang. Selain itu juga dapat memberikan pertolongan kepada fakir
miskin.Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’I
dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila
tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ yang
kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka
berlakulah hukum Qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
B.
Rukun dan syarat qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai berikut :
1)
Ashl
Ashl
yang berarti pokok,
yaitu suatu peristiwa
yang telah
ditetapkan
hukum berdasarkan nash.
Ashl disebut juga
maqis ‘illaih
(yang menjadi ukuran), atau musyabbabih
(tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2)
Far’u
Far’u berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
fara’ disebut juga maqis (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat
menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan), seperti pengharaman
wisky dengan mengkqiyaskan dengan khamar.
3)
Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan
nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada
persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman minuman khamar.Adapun hukum yang
ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari qiyas dan karenanya tidak
termasuk hukum.
4)
‘Illat
‘illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl
dan sifat itu yang dicari
pada fara’. Seandainya sifat yang ada pada fara’ maka persamaan
sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashl.
Setelah diterangkan
ruang-rukun-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari
masing-masing rukun qiyas tersebut.
A. Ashl dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian
atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan
hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Sedangkan fara’ berupa peristiwa
yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukan
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum
fara’ itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
B.
Hukum ashal
ada berapa syarat yang diperlukan bagi kaum
ashl yaitu :
a)
Hukum ashl itu hendaklah hukum
syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’. Sedangkan
sandaran hukum syara. Itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur
ulama tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka
menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang
ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari
kesepakatan dari
mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat
diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin
mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma’ ilaih.
Asy- Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
b)
Hukum ashl harus ma’qul al ma’na,
artinya pensyari’atannya harus rasional.
c)
Hukum ashl itu tidak merupakan
hukum pengecualian atau hukum yang berlaku pada kejadian atau peristiwa yang
lain.
Hukum ashl macam ini ada dua macam, yaitu :
a)
‘illat hukum itu hanya ada pada
hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti diperbolehkannya
mengqashar shalat bagi yang musafir. ‘illat yang mask akal dalam hal ini adalah
untuk menghilangkan kesulitan, tetapi Al-quran dan Al-hadist bahwa ‘illat itu
bukan karena adanya safar (perjalanan).
b)
Dalil Al-quran dan Al-hadist menunjukkan
bahwa hukum ashl itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa
yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi nabi
Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain walupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
C.
Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab
yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar
hujah dalam menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan
dalam mengisbatkan hukum, ada yang membatasinya da nada pula yang tidak
membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nash pun yang dapat
dijadikan dasar. Hanya sebagian
kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas mazhab syi’ah. Mengenai
dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
Al-quran, Al-hadist, perbuatan sahabat, dan akal.
A. Al-quran
Allah Swt memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan
cara menyamakan dua hal sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Yasiin [36] :
78-79.
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi
kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan
oleh Tuhan yang menciptakannya
yang pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan
kemampuannya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.
B. Al-hadist
Di antara hadist yang
dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
Artinya : “Bagaimana
(cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan berdasar Al-quran. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz berkata : Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad
dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata) :
Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang
telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang
boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak
menemukan ayat-ayat Al-quran dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu
menggunakan qiyas.
C. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan
pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut
para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu
Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar
menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
D. Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan
manusia.Setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula
yang tidak diterangkan.
Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak
ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar
dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan
hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan
hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya
diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah
kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.
D.
Macam-macam qiyas
1)
Qiyas
Aula
Qiyas ini juga dinamai awlawi, qiyas qhat’I, yaitu suatu
qiyas yang ‘illatnya itulah yang mewajibkan hukum, atau dengan kata lain yaitu
mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada, namun
sifat/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contohnya
keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah
haram.
2)
Qiyas Musawi
Qiyas musawi adalah ‘illat qiyas suatu hukum sama,
seperti halnya keharaman hukum membakar harta anak dengan memakan harta
hartanya.illat keduanya sama-sama menghilangkannya.
3)
Qiyas Adna atau Adwan
Qiyas adna adalah mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut
menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang patut menerima hukum itu.
Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena
keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama makanan.
4)
Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah yaitu menetapkan hukum karena ada
persamaan dilalat al-hukm (penunjukan hukumnya).Seperti kesamaan kewajiban
zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa.Karena keduanya sama-sama
bisa tumbuh dan berkembang.
5)
Qiyas Syibh
Qiyas syibh yaitu terjadinyakeraguan dalam mengqiyaskan,
ke asal mana illat ditujukan kemudian harus ditentukan salah satunya dalam
rangka penetapan hukum padanya.Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya
di qiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Adam, atau barang yang
diperjualbelikan.
6)
Qiyas Al-aksi
Qiyas al-aksi adalah yang tidak adanya hukum karena
tidak adanya ‘illat atau menetapkan
lawan hukum sesuatu bagi yang mana keduanya memiliki hukum yang berlawanan
tentang hal ini.
KESIMPULAN
Bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk
kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam
menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al-quran maupun Hadist jumlahnya
terbatas dan final. Tetapi permasalahatan
manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah sama sekali.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum
Syara’.Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalanan
dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas
menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan
syariat dan maslahah.
Daftar Pustaka
Ahmad Saebani,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia,
2008), hlm. 172.
Insan Mulia, Fiqih, (Surakarta : Putra Nugraha,
2008), hlm.25.
Totok Jumantoro, Kamus
Ushul Fiqh, (Jakarta : PT. Hamzah,
2001), hlm. 272.
2003), hlm. 206.
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, (Bandung : PT.Pustaka Rizki Putra), hlm. 203-206.
0 komentar:
Posting Komentar